Disabilitas Nalar dan Kecerdasan
Disabilitas artinya keterbatasan, bisa dimaknai keterbatasan seseorang dalam unsur fisik,
kognitif, mental, sosial emosional atau kombinasi dari beberapa unsur tadi yang bersifat
permanen atau temporer. Dikaitkan dengan kondisi pendidikan kita yang bersifat sustainable
atau berkelanjutan sangat lezat untuk dibahas saat ini. Presiden dengan hak prerogatifnya telah
menunjuk seorang menteri dari kalangan milenial dan diluar kebiasaan. Hal ini memicu
komentar lantang bagi sebuah proses demokrasi yang masih berjalan. Bahkan ada yang sudah
menghitung dengan kalkulasinya masing-masing siapakah anggota Kabinet saat ini yang bakalan
di resuffle paling dulu. Inilah salah satu pertunjukkan disabilitas dalam nalar dan kecerdasan
yang ditimbulkan oleh kebijakan yang hanya ingin populer saja.
Nalar dan kecerdasan adalah sebuah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam unsur
kognitifnya berkaitan dengan sebuah permasalahan. Nalar di dalam KBBI artinya pertimbangan
tentang baik buruk atau akal budi, sedangkan cerdas artinya kemampuan untuk menyelesaikan
permasalahan dengan cepat. Dengan kondisi transisi pengambil kebijakan di kementerian
pendidikan dan kebudayaan saat ini banyak sekali hiruk pikuk statement para pakar yang jjustru
malah membuat gaduh suasana. Sebuah sistem dan program yang jelas tentunya akan
membuat sebuah transisi itu berjalan dengan alamiah, namun karena didukung dengan
keinginan untuk kepentingan yang lebih cenderung kepada sosialita sehingga esensi dari tujuan
sistem pendidikan itu sendiri terlewatkan. Sebagai contoh ada pakar yang mengatakan sekolah
cukup 3 hari dari segi nalar dan kecerdasan ya sangat mentah, kenapa? Sekolah kita yang
menganut sistem semester dengan 5 dan 6 hari kerja saja menuurut PISA atau Programme for
International Students Assesment yang terbaru tahun 2018 negara kita masih berada pada
peringkat 71 dari 74 negara yang disurvey. Lalu apakah jika kita potong waktu belajranya
menjadi hanya 3 hari negara kita posisinya bisa berubah 3 dari bawah menjadi 3 dari atas.
Pihak kementrian sendiri juga suka membuat issue-issue yang meresahkan semua insan
pendidikan, mulai dari issue pergantian total kurikulum, pengurangan mata pelajran,
penghapusan UN yang kemudian langsung diralat tidak jadi menghapus UN namun
merombaknya. Hal inilah yang yang selalu menguras pikiran dan energi kita untuk sesuatu yang
belum pasti. Belum lagi masalah guru yang tidak proporsional jumlah antar wilayahnya juga
posisi lebih banyaknya guru honorer daripada guru negeri. Jika mengikuti alur nalar yang logis
dan cerdas tidak usahlah kita membuat statement yang selalu membuat gaduh dan ricuh antar
sesama punggawa pendidikan. Cukuplah menyelesaikan masalah pendidikan di negara ini
dengan lebih excellent dan lebih nyaman. Sebuah cara yang dulu hampir semua kita pelajari
adalah dengan memahami masalah yang ada, menimbang kekuatan dan kelemahan sistem
pendidikan kita, dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu (SWOT) untuk memperbaiki
pendidikan di negeri ini. Sederhana memang, karena kalau dibuat rumit negara ini sudah terlalu
kronis untuk diurai satu persatu keruwetannya. Mengganti UUSPN, mengganti pejabat eselon
hingga pengawas atau kepala sekolah di seluruh Indonesia, sangat mahal biayanya dan riskan
pelaksanaannya bagi kepentingan yang lebih besar yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlu kita pikirkan hasil survey PISA tahun 2018 tersebut bahwa kemampuan siswa di 2 Kota
yaitu Yogykarta dan DKI dalam ilmu exact dan sosial lebih baik dari Malaysia dan Brunei
Darussalam bahkan hampir meyamai Singapura. Namun memang jika digabung dengan daerah
lainnya posisi negara kita jadi melorot jauh posisinya. Inilah sebenarnya masalah yang kita
hadapi bukan kurikulum atau UN yang menyebabkan pendidikan kita buruk namun belum
adanya pemerataan baik dari segi fasilitas, tenaga dan bisa jadi teknologinya. Jadi sesederhana
cara pikir saya sebagai guru SD Menteri dan para pejabatnya harus tahu masalah dan
memetakannya kemudian mengundang praktisi dan akademisi untuk menempatkan orang-
orang yang kompeten agar permasalahan ini bisa teratasi meskipun tidak secara revolusi
namun secara evolusi. Karena semua ini adalah kreasi manusia maka kita sangat optimis
masalah-masalah ini bisa teratasi dengan nalar dan kecerdasan seluruh elemen bangsa ini.
Bukan malah melempar issue dan pernyataan yang malah membuat riyuh dan gaduh dunia
pendidikan negara kita. Kebiasaan melempar issue dan statement yang tidak berdasar data dan
fakta di lapangan adalah sebuah disabilitas dari nalar dan kecerdasan karena tidak bisa melihat
pendidikan kita secara luas dan merata dari semua sisinya.
0 komentar: