Sabtu, Desember 28, 2019 0 Comments

BALADA GURU MENULIS Ketika semua berpeluh pada ujung subuh berharap semua karya dan usaha ini akan berlabuh. Seorang perempuan menyapaku dengan penuh ramah. Sambil menanyakan apakah saya juga seorang guru. Tak ayal saya sambut dengan anggukan kepala dan nada suara dalam, saya adalah guru. Lalu dia bercerita bagaimana susahnya menjadi seorang guru ASN yang dengan susah payah sampai dicemburui suami gegara selalu bersanding dengan laptop dan mengesampingkan suami dan anaknya. Namun usaha yang dirintisnya seperti tak bermakna bagi Ibu Bapak pengawas yang layaknya seorang dewa, bisa memutuskan apakah PTK ini layak atau tidak, dan tamatlah nasib karir sang Ibu guru tadi di tangan dewa bernama Pengawas sekolah tersebut. Dari sepenggal latar belakang di atas maka tidaklah heran jika banyak guru kemudian memberikan pembelajaran kepada pihak birokrat agar menyederhanakan pola pikir para penilai karya tulis atau pejabat berwenang dalam menilai sebuah karya. Setelah berjibaku dengan tugas dan administrasi harian yang melelahkan maka guru dihadapkan pada masalah baru yang tidak kalah beratnya. Karya tulis ilmiah, sebuah nama yang menjadi momok bagi guru ASN yang akan naik pangkat dan golongan dari 3C ke 3D dan seterusnya. Tidak hanya itu, setelah selesaipun tidak ada penghargaan sama sekali seperti terlihat pada gambar di atas. Jika guru dipersalahkan dengan ketidakmampuannya dalam membuat sebuat karya tulis maka seharusnya penilai juga harus bisa menilai dirinya sendiri sebagai sebuah refleksi agar semua guru bisa berbuat maksimal sesuai kemampuannya. Pada sebuah acara workshop penulisan artikel di LPMP DIY awal bulan September 2019 lalu hal ini pernah dibicarakan dan sebagai penengah LPMP mengakui belum adanya sinkronisasi pembinaan dan penyamaan kriteria penilaian terhadap karya tulis ilmiah guru. Yang ada adalah penyediaan program dan Widyaiswara, sedangkan tentang penyediaan tenaga akademisi, pendampingan dan penilaian hingga saat ini belum bisa dilakukan secara kolaboratif. Anehnya ada seorang pengawas saat itu yang bersikeras bahwa pengawas sudah melakukan tugasnya dengan benar, dan hasil penelitian kami ini dianggap sebuah hal yang tidak realistis. Ada sesuatu yang janggal dengan pengawas ini, seharusnya sebagai sesama tenaga kependidikan kita bicara secara data empirik dan bukan dengan latahnya mengatakan bahwa kami guru-guru ini selalu salah dan kalah. Inilah kelemahan kami guru Indonesia, tidak punya ”Bargainning Position” yang kuat untuk sekedar memperjuangkan hak-haknya dalam kedinasan apalagi harus mempertahankan hak-hkanya sebagai warga negara seperti rakyat yang lain. Masukan kepada semua pihak dengan ketiga fakta ini yaitu, hasil penilaian Karya Ilmiah guru, pendapat dari Pejabat LPMP DIY, dan pernyataan seorang pengawas sekolah di DIY yang menyangkal adanya masalah dalam proses penulisan karya ilmiah ini, seharusnya kita dengan kapabilitas masing-masing melihat kembali apa yang terjadi dengan sistem pembinaan guru dan sistem penjenjangan kepangkatan guru-guru kita. Jangan sampai guru menemukan buah simalakama, ”menulis” guru juga salah, ”tidak menulis” juga gurupun tetap salah. Sebuah bentuk management dasar SWOT yang pernah kita pelajari bersama saat menmepuh kuliah mari kita lihat kembali...Strength kita terletak dimana, Weakness kita apa saja, Oportunity terletak dimana, dan Treatment kita bagaimana. Sehingga dengan demikian tidak ada saling menyalahkan yang ada adalah saling menguatkan, inilah salah satu titik lemah pendidikan di Indonesia guru yang nota bene memegang 30% keberhasilan peserta didik adalah selalu menjadi Objek yang dipersalahkan dan dipermasalahkan. Seharusnya guru yang berperan sangat penting dalam pendidikan di negara ini dilindungi dan dibimbing supaya menjadi guru yang benar dan baik, sehingga bisa mengantarkan tercapainya tujuan pendidikan negara ini.

0 komentar: